Kanker Payudara, sebuah perjuangan….
Seorang ibu menghembuskan nafas terakhirnya di
ICU, henti jantungnya kira-kira bersamaan dengan selesainya shalat Ied, anak
lelakinya yang kebetulan selesai shalat langsung menangis dan mencoba menerima
keadaan duka yang baru saja mereka alami. Akhirnya mereka berterimakasih dan
mengatakan “ibu meninggal di hari yang sangat baik ya dok, di hari yang suci”.
Dan saya hanya bisa mengiyakan. Karena saya tahu ibu ini sudah berjuang sangat
panjang, a brave warrior, struggle til the end.
Ibu ini menyadari benjolanya sejak 2 tahun yang
lalu, hanya sebesar biji jagung pada payudara kiri, dan semakin membesar dalam
1 bulan terakhir, hingga sebesar bola pingpong. Ia berinisiatif untuk operasi
di daerah, operasi pengangkatan benjolan. Hasil pemeriksaan menyatakan ganas. Disini
saya menjelaskan bahwa metode pengobatan adalah kombinasi antara operasi
pengangkatan payudara dan kemoterapi, paling tidak 6 siklus, ia menjawab “Saya
punya 5 anak dok, baru 1 yang menikah, 2 yang terakhir masih sekolah dasar, apa
ada alasan untuk saya menyerah? Insya Allah saya kuat jalani semua dokter”. Ia
juga menanyakan peluangnya, saya menjelaskan, ada 4 yang dipakai sebagai
patokan keberhasilan kemoterapi apakah respon komplit, respon sebagian, tidak
ada respon, atau perburukan. Disitu saya menyadari, bahwa pada akhirnya
kita hidup untuk keluarga, kita bekerja untuk keluarga, kita melakukan semua
untuk masa depan keluarga, another lesson learned.
Setelah operasi pengangkatan payudara, kemoterapi
pertama dilakukan, ini tidak akan mudah, semua obat antimual, antialergi,
antimenggigil dimasukkan diawal sebelum kemoterpi, saya mengingatkan lagi bahwa
dukungan keluarga, sahabat dan doa, sangat berperan dalam mencapai kesembuhan.
Obat masuk, tetesan dan bilasan disesuaikan dengan jenis obat, kecepatanya
diatur supaya memberikan efek samping seminim mungkin. Ibu ini mulai mual dan
muntah, tapi tetap tersenyum sambil bercanda dengan puterinya yang kebetulan
ikut menemani. “Ko cari suami dokter atau perawat nah, supaya ada yang rawat
ibu, dia ini politehnikji dok, cari uang nanti kerjanya…” sambil tertawa,
ditengah rasa mualnya. Sebagai seorang pribadi, ibu ini cukup menarik, beliau
adalah seorang guru, hobi membaca, dia tahu perjalananya kedepan bakal panjang,
dia menceritakan kisah sukses pasien-pasien post kemoterapi yang remisi, tidak
ditemukan gambaran metastasis (penyebaran) di tempat lain, penanda tumor minim,
dan dia percaya akan sampai di posisi tersebut. Saya juga baru tahu bahwa
banyak sekali kisah sukses pasien kanker, dan semuanya menyemangati pasien, dan
juga kami, tenaga kesehatan. Keberhasilan pengobatan kanker itu ada.
Kemoterapi berlangsung terus hingga siklus ke
3, rambut pasien mulai rontok, kulit pucat dan badan lemas, mual muntah yang
berlangsung. Hingga pada siklus ke 4 pasien tidak control pada waktunya. Karena
saya kenal pribadi dengan ibu ini, saya yakin dia bukan tipe orang yang tidak
tepat waktu, seperti siklus-siklus sebelumnya, selalu tepat. Ibu guru,
bagaimana mau telat… tapi kok kali ini tidak ada kabar…
Akhirnya beliau menghubungi perawat poliklinik
dan memohon izin untuk terlambat kemoterapi karena anaknya melahirkan di Kalimantan,
kalau bisa dia menunda untuk 1 minggu. Saya tetap menyarankan tepat waktu namun
beliau bersikeras. 1 minggu berlalu, hingga 1 bulan, ibu ini tidak terlihat.
Sampai saya pindah stase rumah sakit lain, dan kembali di rumah sakit dimana
saya bertemu beliau pertama kali.
Tanggal 2 hari yang lalu pukul 23.00 saya
dihubungi UGD ada pasien post kemoterapi masuk dengan keluhan lemas, penurunan
kesadaran dan sesak, saya datang untuk menstabilkan pasien, kemudian
menganjurkan pasien tersebut untuk masuk ICU. Saya tidak mengenali pasien
tersebut. Dan ternyata ibu itu, badanya bengkak dan keadaan pasien sesak.
Kesadaranya turun. Kami lakukan pemeriksaan Foto thorax, ternyata sudah terjadi
penyebaran ke paru. Keadaan pasien tidak memungkinkan untuk di CT Scan, tapi
dari pemeriksaan fisik dan lab, kemungkinan besar pasien mengalami penyebaran
ke otak.
Saya menanyakan ke keluarga, kenapa sempat
lepas siklus kemoterapi, keluarga menjelaskan, saat di Kalimantan, tidak aja
yang menjaga cucunya, karena beliau mengambil cuti panjang, sekalian beliau
menjaga cucunya yang lahir beberapa bulan yang lalu itu, keluarga sudah
mengingatkan jadwal kemoterapinya, namun kembali beliau ingin menemani anak dan
cucunya, sampai masa nifas lewat. Akhirnya beliau rencana pulang ke kota ini karena
tubuhnya semakin lemah dan ingin melanjutkan kemoterapinya. Keadaan memburuk
saat dirumah, langsung dibawa ke UGD.
Perawatan dilakukan selama 2 hari, namun pada
hari raya, beliau menghembuskan napas terakhirnya, perjuangan yang pantang
menyerah, selalu didukung oleh keluarganya, sampai kecintaanya pada keluarganya
membuat beliau sedikit terlena dengan perjuanganya. Tapi itulah jalan Tuhan.
Semua pasti ada akhirnya, bagaimanapun itu
adalah misteri Ilahi, tidak harus selesai siklus beliau membaik atau sembuh,
tapi semua kemungkinan ada. Tapi bagaimana kita menyikapi hal tersebut, dan
mengambil makna dari perjuangan orang lain dan dukungan mereka terhadap kita,
akan memberikan “kemenangan” pada semua perjuangan terhadap penyakit.
Karena hidup kita yang singkat atau lama tidak
ditentukan oleh hitungan waktu, tapi dari “legacy” dimana orang bisa belajar dari sikap positif, pantang menyerah serta harapan kita.
Selamat jalan bu
Salam.